starsjuy

1,2k words berisi keuwuan hihi. Happy reading!!

Malem ini, moment yang udah gue tunggu tunggu. Night drive, bersama cewe yang udah hampir 3 bulan ini menjadi alasan kenapa gue sering senyum senyum sendiri.

Gue jemput Kenda dirumahnya setelah jam makan malam. Sengaja, biar ngga ganggu makan malam keluarga dia. Mungkin Kenda udah pernah mention ini, kalo mamah dia super duper baik ke gue. Tiap gue dateng kerumahnya pasti selalu disambut seramah mungkin, dan ngga lupa juga, selalu ditawarin makanan masakan mamahnya. Itu yang bikin gue nyaman tiap dateng kerumahnya.

Sekarang gue sama Kenda udah jalan. Berdua di mobil. Jujur gue sendiri juga gatau mau kemana. Ya namanya aja “Night Drive”. Jadi, yaudah muterin kota aja.

Gue mulai memutar playlist yang waktu itu Kenda buat di akun spotify gue. It's Not Living (If It's Not With You) punya The 1975 jadi lagu pertama yang gue pilih untuk diputar. Lagu ini udah kaya lagu kebangsaan buat gue sama Kenda. Tiap sposes gapernah absen kita dengerin.

“Kak Juan, udah makan?”

“Udah tadi di kos sama Eric sama Kevin juga.”

“Harusnya tadi sekalian aja makan malem dirumah gue, Kak. Waktu gue bilang mau pergi sama lo, Mamah langsung nanyain lo tuh.”

“Hahaha ngga ah. Ngerepotin, ngga enak gue.”

Diem. Gue gatau kenapa malah jadi awkward gini. Gue sama Kenda sama sama diem menikmati musik yang daritadi terputar di head unit mobil.

Lagu demi lagu silih berganti. Gue memilih lagu Give Me Your Forever milik Zack Tabudlo untuk lagu selanjutnya.

Sebenernya gue tambahin lagu ini ke playlist baru kemarin waktu gue di Bandung. Jadi gue rasa, Kenda belum sempet buka playlistnya dan belum sadar ada lagu baru di playlist kita.

Oh maaf, belum jadi kita. Kalo Kenda tau pasti bakal protes. Tapi malem ini bakal jadi kok. Liat aja.

Gue sengaja mengeraskan volume. Membiarkan Kenda mendengarkan liriknya dengan jelas. Dari ujung netra gue, gue bisa liat dia kebingungan kenapa gue tiba-tiba kerasin volumenya.

Gue masih diem. Gue diem mikirin apa yang harus gue lakukan setelah lagu ini selesai. To be honest, gue udah menyiapkan berbagai skenario tadi dan tentunya ada campur tangan Eric dan Kevin didalamnya.

Badan gue mulai berkeringat dingin. Sumpah gue nervous banget. Rasanya hampir sama kaya waktu mau maju pidato di acara yudisium SMA dulu.

Lagunya berhenti.

LAGUNYA BERHENTI.

GUE HARUS GIMANA?? Oke tenang, gue harus melancarkan aksi gue malem ini.

“Dengerin lagu barusan, kan?” Tanya gue.

Dia mengernyitkan dahi, dan jawab, “Hah? Ya... iya, Kak? Kan lo tadi juga kerasin volumenya.”

“Denger jelas liriknya, kan? This lyrics is the same as my feelings to you.” Kenda diem, masih mencerna apa yang gue bilang barusan.

“Kenda,” panggil gue.

“Iya, Kak Juan?” Jawab dia lembut, pengin gue pacarin saat ini juga.

“Oke, sebelumnya... Lo ngga keberatan, kan?” Tanya gue dengan ragu-ragu.

“Keberatan? Keberatan apa, Kak?” Dia bingung.

If i use english? Because if i said it in bahasa it will sounds so cringy.

Gue diem. Sumpah bego banget Juand Athala.

KENDA MALAH KETAWA.

YAIYALAH.

“Kenda.” Ucap gue tanpa sadar merengek. Protes karena barusan dia ketawain gue.

“Oke, maaf. Lanjut aja, Kak.” Jawab dia masih nahan ketawa.

“Oke. Bentar, gue bingung mulai darimana. I think... i'm falling in love with you.” Ujar gue dengan satu tarikan nafas.

Belum selesai. Gue melanjutkan kalimat gue yang sempat terpotong, “I feel i'm falling in love with all my heart. You make me like opening up and that’s pretty hard for me to do. You really filled my head every single day and i can't hold it anymore. So i decided to be brave and says i like you. And i hope you feel the same way as i do.”

Gue sama Kenda sama sama terdiam cukup lama. Sampai akhirnya dia jawab...

“Kak Juan, we have the same feelings.

DAMN. Entah ada berapa kupu-kupu yang berterbangan di perut gue setelah dia bilang gitu. Gue masih diem, gatau mau bereaksi kaya gimana.

So?” Tanya dia seakan meminta kepastian.

“Mending pacaran aja ngga, sih?” Saut gue asal.

“Benefitnya pacaran sama lo apa?” Tanya dia lagi seolah menguji gue.

“Nah! Tenang, itu gue udah siapin jawabannya. Benefitnya pacaran sama gue, pertama, gue bisa bantuin lo war tiket konser, gue bisa temenin lo penuhin semua wishlist konser lo yang belum ke-ceklist, gue bisa nemenin lo sposes tiap malem, gue bisa jadi pendengar sekaligus penasehat yang baik buat lo. Sebagai anak arsi, mungkin hari hari gue emang dipenuhi dengan tugas, tapi gue bisa selalu ada buat lo. Kita ga perlu split bill, gue bisa jajanin lo sepuasnya apapun yang lo mau. Gue bisa—” Jelas gue panjang lebar.

Penjelasan gue dipotong sama Kenda. Lagi lagi, dia ngomong sambil nahan ketawa, “Kak Juan, gue bercanda. Pacaran sama lo aja udah benefit.”

“Gue serius, Nda. Oh satu lagi, i can make you smile all the time and i'll treat you like a queen.” Ucap gue sambil sesekali liat dia.

“Oke.” Jawab dia singkat.

“Oke?” Tanya gue memastikan jawaban dia. Kenda cuma mengangguk.

“OKE??” Tanya gue sekali lagi karena GUE MASIH NGGA PERCAYA.

“IYA, KAK JUAN!” Jawab dia sambil teriak, kemudian diikuti suara tawa kita berdua.

Gue langsung membawa mobil gue ke tepi jalan. Kenda pun bingung, apa lagi yang mau gue lakukan. Setelah memastikan mobil gue benar-benar berada di pinggir jalan dan ngga mengganggu lalu lintas kendaraan yang lain, gue langsung meluk dia. Tanpa menunggu aba-aba, dia pun langsung membalas pelukan gue ngga kalah kencengnya.

Cukup lama kita berpelukan, gue memutuskan untuk melepaskan pelukannya. Takut dia malah sesek. Gue genggam kedua tangannya sambil natap matanya, “Kamu nungguin ngga? Aku kelamaan gantungin kamu ya?”

“Gimana ya, Kak. Dibilang nungguin, ya... iya sih. Tapi lebih ke nungguin kepastian aja gitu. Maksud ngga? Bukan yang ngebet mau pacaran. Tapi disisi lain, aku juga masih ragu sama diri aku sendiri. Aku takut kalau ternyata aku belum damai sama masa lalu aku. Terus nanti ujung-ujungnya malah nyakitin kamu.” Jelas dia dengan tatapan sendunya.

“Sekarang masih ngga?” Tanya gue dengan polosnya.

“Aku terima kamu, aku pilih kamu, harusnya kamu udah tau jawabannya, Kak. Aku udah selesaiin semuanya waktu ketemu sama dia kemarin.”

Gue masih betah natap dia, sambil senyum senyum KARENA GUE SENENG BANGET, dan akhirnya keluarlah dari mulut gue, “Love you.”

“Dih?”

“Lah gaboleh?”

“Iya boleh, sayang. Love you too.” Balas Kenda sambil cubit hidung gue. Setelah apa yang dia lakukan ke gue, dia langsung mengalihkan pandangannya, melepas genggaman tangannya, dan memilih liatin kendaraan yang berlalu lalang lewat jendela yang ada di samping dia.

INI DIA SALTING KAH?? TAPI GUE LEBIH SALTING ANJIR.

Aduh. Ini kayanya emang Kenda tipe-tipe cewe agresif, suka ngeledek, bikin gue yang tadinya mau mancing dia malah jadi salting sendiri.

Gue kembali menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan. “Berarti ini udah jadi kita, kan?”

“Udah dong!” Jawab dia dengan semangat seakan lupa sama kejadian tadi.

“Bagus deh, jadi kalau ngetik atau ngomong gausah kepanjangan pake gue sama lo.”

Sebenernya yang gue lakukan tadi diluar skenario yang udah gue buat dengan dibantu Eric sama Kevin. Gue improvisasi aja apa yang keluar dari mulut gue. Sia sia dong ya, gue udah bikin susunan kalimat yang isinya ada kalimat sumbangan dari Eric, ada yang dari Kevin, eh ujung ujungnya juga keluar dari hati gue sendiri.

Tanpa aba-aba, gue memberanikan diri kembali menggenggam tangan Kenda.

“Kak, driving with one hand is dangerous.”

Don't worry, i'm the best driver.

Kenda hanya senyum dan balas genggamannya. Sayang, gue terpaksa harus memilih untuk fokus ke jalan di depan gue daripada fokus ke senyum dia, atau gue bisa nabrak mobil depan yang jaraknya ngga terlalu jauh dari mobil gue. No, but seriously. This is the best night i've ever had. I got you, Kenda Alula.

©starsjuy

Kak Juan memutuskan untuk cari kado di mall yang ngga terlalu jauh dari rumah gue. Gue, sih, ngikut aja.

“Adek lo suka apa, Kak?” Tanya gue ke Kak Juan sambil berjalan mengelilingi store mencari barang yang sekiranya menarik untuk dijadikan kado.

“Suka apa aja dia, Nda. Makan apalagi.” Kalo gitu mah, gue juga sama.

“Yaa kadonya ngga makanan juga, dong. Yang lebih berkesan gitu. Coba yang lebih spesifik adek lo sukanya apa? Musik juga kaya lo? Baju? Jam tangan? Tas? Sepatu? Buku novel? Atau apa? Masa kakaknya gatau.” Oceh gue panjang lebar.

Kak Juan terlihat menimbang-nimbang, “Apa ya... Sayangnya dia suka semua yang lo sebutin barusan.”

“Yaudah beliin semua.”

“Hah jangan lah! Gue belum bayar kos.”

“Bercanda, Kak.” Gue ketawa denger jawaban dia.

Lagian pilih kado aja bingung. Kan tinggal beliin aja sesuatu kesukaan adeknya. Parah nih masa gatau kesukaan adek sendiri.

Sambil berjalan, gue melihat ada barang yang menarik perhatian gue.

“Ehh, Kak, ini bagus nih. Ayo sini deh liat.” Gue buru-buru menarik tangan Kak Juan memasuki salah satu store brand sepatu yang cukup ternama. Kak Juan nurut aja.

Mata gue berbinar melihat sepatu yang berjejer rapih di rak. Pilihan gue tertuju pada sepatu berwarna putih dengan corak biru muda. Simple tapi lucu.

“Ini lucu banget, Kak. Adek lo suka warna apa?” Tanya gue tanpa mengalihkan pandangan dari sepatu yang ada di depan gue ini.

“Bagus, Nda. Biru. Dia suka biru. Udah yang ini aja langsung dibungkus. Bagus, kok.” Jawab dia yang kemudian mengarahkan tangannya untuk mengeluarkan dompet dari saku celananya. Langsung gue tahan tangannya.

“Ngaco! Buru-buru banget sih. Cari ukuran yang pas dulu, Kak. Abis itu diliat dulu barangnya mulus atau ngga. Kan sayang kalo udah bayar tapi ternyata ada yang rusak.” Omel gue.

Ini. Gue gabisa biarin cowo belanja sendirian. Bodo amat mereka ngomel-ngomel cewe kalo belanja lama banget, yang penting barang yang gue beli aman. Daripada buru-buru kaya dikejar deadline. Ternyata pas nyampe rumah malah barangnya zonk.

“Ngga salah gue ngajak lo.”


Setelah deal beli sepatu yang gue pilih, kita berdua langsung pulang. Takut keburu sore karena Kak Juan mau langsung berangkat ke Bandung, katanya.

Ngga butuh waktu lama, mobil Kak Juan sampai di depan halaman rumah gue.

“Eh, mau ngapain?” Tanya gue bingung melihat dia ikutan melepas seatbelt.

“Ya mau turun?” Kak Juan ikutan bingung.

“Gausah turun, Kak. Nanti malah lo ditahan tahan sama Mamah kaya kemarin. Kan katanya mau langsung ke Bandung.”

“Gapapa lah. Gue mau pamit dulu.”

“Ssttt udah gausah, Kak. Pamit pamit nanti ujung ujungnya lo disuruh makan malem disini.”

“Hahaha yaudah yaudah.” Kak Juan mengalah, dan kembali memakai seatbelt-nya lagi.

“Yaudah gue turun ya, Kak. Lo hati-hati di jalan, jangan ngebut, lagian ini belum sore banget. Pasti nyampe Bandung ngga bakal kemaleman. Oiya, jangan lupa beliin kue juga buat adeknya, jangan sepatu doang. Siapa nama adek lo ya, Kak? Oh! Ica ya? Nah iya itu. Nanti salamin ya! Udah ah gue turun ya. Makasih udah nganterin gue pulang.”

“Iya iya, Kenda.” Kak Juan terkekeh sambil mengacak-acak rambut gue.

What the f— Juan... Bukan. Bukan gue kesel karena dia acak-acak rambut gue. Gue udah pake shampo anti kusut tadi jadi rambut gue aman. Yang ngga aman itu yang lainnya. Hati gue.

Gue mematung sebentar, kemudian bergegas keluar dari mobilnya. Belajar dari kejadian sebelumnya, biar ngga keliatan salting, gue menunggu di depan gerbang sampe mobil Kak Juan hilang dari pandangan gue. Baru setelah itu gue langsung berlari masuk ke dalam rumah.

©starsjuy

Sesuai dengan janji gue—nemenin Kak Juan beli kado buat adeknya—siang ini gue langsung siap siap setelah Kak Juan nge-chat gue katanya mau otw dan bakal nyampe 20 menit lagi.

Seteleh selesai bersiap, gue langsung turun dan memutuskan untuk menunggu Kak Juan di teras.

“Eh, kok turun?” Baru aja gue buka pintu, dia udah dateng dan malah turun dari mobilnya.

Gue sempet bengong sebentar setelah liat dia. Celana jeans, kaos putih oversize—kalo di gue—, dan ngga lupa sepatu converse all stars warna item, yang keliatan udah lama banget dia pake dan selalu nemenin dia kemana-mana. Simple, tapi cukup membuat gue... Guys, you know what i mean lah.

“Mau ijin dulu. Dirumah ada siapa?” Udah gue duga. Kaya kemarin waktu mau sarapan bubur, dia beneran nepatin omongannya. Serumah dia pamitin.

Papah yang lagi nyuci mobil, Mamah yang lagi nyiram tanaman, Kakak yang lagi duduk di teras, bahkan Kala yang baru bangun aja dia pamitin sampe Kala bingung sendiri.

“Gada siapa-siapa, Kak. Mamah sama Papah kerja, Kak Harshal lagi keluar, Kala masih ada kelas.” Kak Juan mengangguk paham.

“Oalah, yaudah deh. Ayo.” Ajak dia sambil berjalan menuju mobil, diiringi gue di belakangnya.

Seperti biasa, tangan kirinya membukakan pintu mobil dan tangan kanannya melindungi kepala gue. Gue rasa ini emang udah jadi kebiasaan dia. Ngga cuma ke gue, tapi gue yakin ke adek dan bundanya pasti begitu juga.

Setelah memastikan gue udah duduk dengan nyaman, dia langsung menutup pintunya dan menyusul masuk, kemudian mendudukkan dirinya di kursi kemudi.

“Gimana kemarin?” Tanya Kak Juan membuka obrolan setelah menjalankan mobilnya.

“Hah apanya?” Pertanyaannya membuat gue mengerutkan dahi, bingung.

“Ketemu temen.”

“Ya... Gitu? Kenapa, deh?” Tumben banget dia kepo gue ketemu siapa?

“Temen apa temen?” Tuh. Mana ngga percaya lagi.

“Temen, Kak Juan.” Jawab gue meyakinkan dia.

“Oh... Temen. Jadi bukan mantan, ya?”

Satu nama yang langsung muncul di kepala gue. Eric. Ada dua opsi, Eric yang langsung cerita ini itu membeberkan semuanya ke Kak Juan, atau Kak Juan yang terlalu kepo dan menanyakan semua hal yang pengin dia tahu ke Eric.

“Emang kalo mantan kenapa?”

“Takut tumbuh lagi.” Jawab Kak Juan dengan suara yang hampir ngga terdengar.

“Apanya yang tumbuh lagi? Emang kenapa kalo tumbuh lagi? Lo... Keberatan ya? Cemburu? Atau apa?” Serang gue dengan berbagai pertanyaan.

“Ini lo lagi godain gue ya?” Yang ditanya malah balik tanya, sambil gelagapan.

“Yahh gabisa jawab.” Ucap gue dengan nada kecewa.

“Lo keroyokan gitu ngasih pertanyaannya. Gue lagi nyetir jadi ngga fokus.”

“Ah ngeles aja.”

“Bukan mantan gue, Kak. Iya gue pernah deket sama dia dulu, tapi dia bukan mantan gue. Kalo gue bilang temen, ya berarti emang dia temen gue.”

“Kalo gue apa?”

“Maunya apa?” Tanya gue lagi sambil nahan ketawa. Seru juga jahilin dia. Baru kali ini liat dia salah tingkah karena biasanya dia yang bikin gue salah tingkah. Lucu.

©starsjuy

Sudah 30 menit mereka berdua duduk disini. Di tempat yang dulu rutin mereka datangi setelah pulang les untuk sekedar mengulas materi yang baru saja dipelajari atau mengerjakan puluhan latihan soal tes masuk perguruan tinggi.

Tapi hingga kini, tampaknya keduanya masih enggan untuk membuka mulut. Yang satu sibuk bergelut dengan pikirannya, yang satu lagi fokus menatap wanita yang ada di depannya.

Matanya betah sekali menatap setiap inci wajah wanita yang ada di hadapannya itu. Enggan untuk mengalihkan pandangannya.

Cantik. Masih cantik seperti dulu. Sebelum Ia tinggalkan. Mungkin ini yang ada di pikirannya.

“Alula,”

“Emm... Ray...”

Ucap keduanya bersamaan. Akhirnya dibuka juga mulutnya. Mungkin sudah bosan dengan suasana canggung yang menyelimuti mereka berdua.

“Oke, kamu dulu.” Ray mengalah, mempersilahkan Kenda untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Kumpulan kalimat yang sudah memenuhi isi kepalanya.

“I'm sorry,”

“For what?” Pernyataan Kenda barusan membuat Ray mengangkat sebelah alisnya.

“Maaf dulu aku terlalu childish. Harusnya aku ngga semarah itu. Bukannya aku ngga seneng sama pilihan kamu. Tapi aku kesel karena aku gatau kapan kamu daftar, kenapa aku gatau sama sekali, kenapa kamu gapernah cerita ke aku.” Terlalu menggebu-gebu. Kenda menghela nafasnya sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.

“Banyak banget pertanyaan yang muncul di kepala aku waktu itu, Ray. Aku kesel, aku kira aku tau semuanya tentang kamu. Tapi ternyata ngga ya, Ray? Ternyata aku malah gatau apa-apa.” Intonasinya menurun. Jelas menunjukkan bahwa dia kecewa dengan pemuda di hadapannya.

Yang Kenda tahu kala itu hanya Ray yang sedang ambis-ambisnya mengejar impiannya untuk menjadi mahasiswa fakultas hukum, sama seperti dirinya.

Sudah banyak skenario yang tertulis di kepala Kenda saat itu. Mengikuti kelas bersama, ke kantin bersama, mengerjakan tugas tugas di perpus berdua, dan menjalani kehidupan mahasiswa pada umumnya, bersama Ray tentunya. Namun, sayangnya takdir berkata lain.

“Alula, maaf. Kamu berhak marah, kecewa, sedih atau apapun itu. Aku akui kalo aku emang salah karena ngga cerita apapun ke kamu, dan aku minta maaf untuk itu.”

Dari dulu hanya kata maaf yang bisa keluar dari mulutnya. Tidak ada pembelaan apapun, karena memang begitu yang terjadi dan Ray mengakui itu.

It's okay, Ray. It was a year ago. Aku udah gapapa. So... Gimana NYU? Is it fun?”

Of course, it's fun. Tapi masih lebih seru disini. Disana ngga ada yang kaya Kala, ngga ada yang kaya Eric, dan...” Ray menjeda kalimatnya.

“Ngga ada yang kaya kamu.”

“Iyalah! Aku ngga ada duanya, Ray.”

“Exactly!” Keduanya tertawa.

Senyum itu... Ray rindu sekali. Senyum yang dulu dilihatnya hampir setiap hari. Senyum yang dulu selalu mengobati rasa lelahnya setelah mengerjakan puluhan bahkan ratusan latihan soal. Setelah setahun lamanya, akhirnya dia bisa melihat senyum itu lagi.

“Alula, bisa kita balik kaya dulu lagi?”

Why not? Kita masih bisa temenan kaya dulu lagi, Ray.” Jawab gadis itu dengan sedikit menekan kata “temenan”.

Bukan. Bukan jawaban seperti itu yang diharapkan oleh seorang Rayyan. Oke, mungkin memang Ray yang terlalu berharap disini.

“Kamu... udah ada yang baru, ya?”

“Konteks?”

You know what i mean, Alula.”

“Hmm maybe? I fell in love with him when we talked about our taste in music. I love him for the way he is. His smile, his personality, how he treats me.”

Ray hanya tersenyum mendengarnya. Rupanya posisinya sudah digantikan.

Glad to know that. Dia sama kaya kamu? I mean, law stud?”

Kenda menggeleng, “Arsi, dia kakak tingkatnya Kala.”

Ray hanya mengangguk. Menandakan dirinya paham dengan jawaban Kenda.

Canggung lagi. Kali ini Ray yang bergelut dengan pikirannya, diiringi dengan jarinya yang mengetuk-ngetuk meja. Ada sedikit rasa nyeri dalam hatinya.

“Alula, jadi kita selesai, ya?” Entah bagaimana, pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya.

“Selesai gimana, Ray? Kita bahkan gapernah mulai.” Ray tersenyum getir.

Pernyataan Kenda barusan... Memang benar, kan? Apanya yang selesai? Apanya yang harus kaya dulu lagi? Hubungan tanpa status yang membuat keduanya bingung? Yang berujung membuat keduanya sakit?

Lebih baik disudahi saja, kan? Lebih baik tidak usah dilanjutkan. Tidak usah diteruskan.

©starsjuy

Siang ini gue harus ke kantin sendirian. Dengan Eric yang beralasan mau ngurusin kepanitiaan, dan Rara yang katanya masih harus cari referensi buat tugasnya.

Entah itu cuma alasan mereka berdua atau gimana, intinya gue berakhir duduk sendirian di kantin yang udah mulai rame karena udah waktunya jam makan siang.

Gue melihat Kak Juan lagi jalan ke arah gue yang lagi asik ngunyah siomay. Ah sial, dia beneran kesini. Harusnya gue ngga ke kantin siang ini. Buru-buru gue turunin pandangan gue dan fokus sama siomay yang lagi gue makan.

“Hai,” sapa dia yang kemudian duduk di depan gue tanpa permisi.

Tiba-tiba banget “Hai”? Gue memilih untuk tetap fokus makan, dan cowo di depan gue ini malah fokus liatin gue.

“Kenapa, sih, Kak?” Tanya gue yang mulai bingung kenapa dia liatin gue yang lagi makan sampe segitunya.

“Gue sapa lo, tapi lagi fokus banget makan kayanya. Laper banget?” Kata Kak Juan tanpa mengalihkan pandangannya.

“Biasa aja. Jadi ini mau ngapain?” Tanya gue lagi, sambil meletakkan sendok, memilih menyudahi makan gue.

“Kangen ngga?” Gue makin bingung. Ini cowo kenapa sih gada angin gada hujan tiba-tiba begini?

“Gue? Kangen lo maksudnya? Ngga.” Kata gue mencoba untuk mengelak.

“Yakin?” Tanya dia sambil menopang dagunya dengan senyuman jahil.

“Kak, jangan gini deh. Lo kan udah ada cewe.” Tolak gue.

Gue harus inget wejangan Rara. Inget Kenda, jangan lengah! Dan tolong banget Juand Athala, gue gamau jadi selingkuhan lo.

“Lo juga udah ada cowo ya?” Saut dia yang membuat gue mengerutkan dahi.

“Hah sejak kapan gue punya cowo?”

“Gue juga, sejak kapan gue punya cewe? Jadi yang anak band itu bukan cowo lo ya?” Malah dia balik tanya ke gue.

Lah gimana sih ini? Gue malah jadi bingung sendiri. Anak band siapa coba? Kak Yudha? Dia ngira gue pacaran sama Kak Yudha?

“Kak Yudha maksud lo? Dia tetangga gue. Temen Kak Harshal juga. Terus lo? Yang lo post mulu di twitter itu emang bukan cewe lo?”

“Itu adek gue, Nda.” Jawab dia singkat.

“HAH? BOONG.” Teriak gue yang membuat seisi kantin liat ke arah gue, Kak Juan hanya tersenyum kikuk.

Boong. Jelas-jelas mereka berdua pake aku-kamu. Ini maksudnya bukan berarti yang pake aku-kamu itu orang pacaran doang ya. Gue sama Kak Harshal juga gitu sih, tapi mereka berdua ngga kaya gue sama Kak Harshal. Ngga keliatan kaya adek-kakak.

“Tapi dia manggil lo gada embel-embel “Kak”, jadi ya gue ngiranya... Ih lo boong ya, Kak?!” Lanjut gue masih ngga percaya.

“Lah kok boong? Beneran, Kenda. Emang lo mau gue beneran punya cewe?”

“Ngga gitu. Eh maksud gue... ngga. Ihhhh ya terserah lo lah, Kak.” Mulut gue mulai ngelantur.

“Bener? Lo ngga bakal galau nih kalo gue punya cewe?” Tanya dia yang kembali membuat gue.... ah gatau deh sumpah ini kalo gue lagi makan bakal keselek atau kalo gue lagi minum bakal gue semburin airnya ke muka dia saat itu juga.

“KATA SIAPA GUE GALAUIN LO?” Teriak gue lagi, Kak Juan cuma ketawa. Demi apapun, gue mau pergi dari sini sekarang juga.

“Gue kira lo pacaran sama Yudha itu.” Ujar Kak Juan mengalihkan topik.

“Gada yang pacaran! Yaiya sih dia sempet confess ke gue...” Kata gue sedikit ragu-ragu. Ngapain juga ya gue kasih tau Kak Juan tentang ini?

“Hah?! Gue ketinggalan nih?!” Gantian dia yang kaget.

Ketinggalan apa, sih? Kebiasaan deh! Kalo ngomong gatau konteksnya apaan. Kan ambigu.

“Ih apa sih, Kak! Confess doang. Kan gue bilang gada yang pacaran!” Jelas gue sekali lagi.

“Bagus deh kalo gitu. Jadi baikan nih?” Tanya Kak Juan diiringi dengan senyum manisnya.

“Siapa?”

“Kita.” Masih dengan senyum manis di bibirnya.

“Gue sama lo, Kak. Bukan kita.” Koreksi gue.

“Mau jadi kita?” Lagi, dengan senyum jahilnya.

“Dah ah gue cabut dulu. Bentar lagi kelasnya mulai. Sana balik ke gedung lo, Kak.” Kata gue sambil beranjak dari kursi. Kacau. Mulai ngga bener ini. Gue ngga bisa disini terus.

“Dih kok ngusir. Salting ya?”

Gue beneran ngga ngerti apa yang ada di pikiran cowo di depan gue ini. Ya menurut lo aja???

“Ngga.” Oke... Harga diri gue sangat penting disini.

“Berarti iya.” Jawab dia ikut berdiri dari kursinya. Gue hanya memutar mata dan langsung pergi ninggalin dia.

Gue ngga mungkin langsung jawab “mau” gitu aja tadi. Kak Juan kan emang suka begitu jahilnya. Yang ada malah gue malu sendiri kalo gue nanggepin serius padahal itu cuma bercanda. Tapi kalo beneran ya.... ya ngga juga lah! Gue habis ini kelas matkulnya Pak Budi, bisa-bisa gue dikeluarin dari kelas gara-gara ngga fokus.

©starsjuy

Malem ini Kak Yudha tiba-tiba dateng kerumah, dengan keadaan gue yang baru aja selesai mandi dan rambut masih basah. Dia ngajak dinner berdua. Mau ngomong sesuatu katanya.

Tapi sampai sekarang, sambil menunggu makanan kita dateng, pria yang ada di depan gue ini masih belum ngomong apa-apa. Suasana daritadi di mobil juga awkward, ngga kaya biasanya.

“Kak, katanya mau ngomong sesuatu?” Tanya gue membuyarkan lamunannya.

Gatau kenapa daritadi dia ngalamun terus. Keliatan dari raut mukanya kaya mau ngungkapin sesuatu tapi bingung bilangnya gimana.

“Aku gatau harus mulai darimana. Tapi kayanya kamu udah tau.” Jawab dia yang membuat gue bingung.

“Udah tau? Apa, Kak?” Gue mencoba menebak di pikiran gue apa maksud dari jawaban Kak Yudha. Udah tau apa? Hal sepele, kah? Tapi muka dia terlalu serius.

I like you, Nda. A lot... Lebih dari sekedar temen, lebih dari sekedar kakak.” Ungkap dia akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, sambil menatap gue.

Gue mematung, masih mencerna apa yang Kak Yudha bilang barusan. Bingung mau bales gimana, takut kata-kata yang keluar dari mulut gue malah nyakitin hati dia.

“Mungkin kamu bingung bakal bales gimana. Aku ngga minta balesan dari kamu kok. Aku cuma mau ungkapin ini aja biar aku lega.” Lanjut dia.

“Kak,”

“Iya?”

“Maaf ya, maaf kalo aku gabisa-” Belum sempat gue menyelesaikan kalimat gue, Kak Yudha langsung menimpali.

“Eh? Kok minta maaf, sih? Ngga, ngga. It’s not your fault, Nda. Iya aku tau kamu gabisa, aku cuma kakak kamu disini, dimata kamu aku sama kaya Harshal. Aku kan juga udah bilang tadi, aku ngga minta balesan apa-apa dari kamu. Aku cuma mau bilang ini biar aku lega. Aku mau bilang ini dari dulu tapi timingnya selalu ngga pas.” Jelas dia panjang lebar.

“Bentar, Kak. Dari dulu? Maksudnya udah lama?” Gue makin bingung.

“Mungkin? Aku sendiri juga gatau tepatnya dari kapan, intinya sebelum aku ke Aussie.”

“Kak, itu lama banget?! Kalo aku suruh Kak Yudha jangan jatuh udah telat ya?” Tanya gue dengan begonya.

“Aku emang udah jatuh, Kenda.” Kata dia.

Tapi gue ngga pernah mikir bakal se-lama ini. Sejak sebelum dia ke Aussie katanya? Dia di Aussie udah 4 tahun... Artinya sejak gue SMA?

“Sebelum terlalu jauh, Kak. Karena Kak Yudha yang bilang sendiri ngga minta balesan dari aku. So, move on ya, Kak. Kak Yudha pasti bakal dapet yang lebih baik dari aku.”

Iya gue bego, gue tau. Mungkin dengan gue nyuruh dia move on secara terang terangan gini juga bikin dia sakit hati.

“Gimana bisa dapetin yang lebih baik, Nda? Yang terbaik aja ada di depan mata.” Kata dia sedikit menggebu-gebu.

“Ngga, Kak. Apaan, sih, aku masih ada kurangnya kali. Bisa, Kak, bisa. Ganteng, baik, pinter gini, emang ada yang gamau sama Kak Yudha?” Tanya gue dengan polosnya.

“Kamu.” Jawab dia yang akhirnya membuat kita berdua ketawa.

Kak Yudha tetap Kak Yudha. Dia cuma tetangga depan rumah gue, dia cuma sahabat Kak Harshal yang gue anggap seperti kakak gue sendiri, dia cuma temen main gue, Kak Hashal, Kala, bahkan Eric, dari kecil, pun sampai sekarang. Dan gue suka itu. Gue suka dia sebagai itu. Gue suka Kak Yudha sebagai kakak gue, sebagai temen gue. Bukan sebagai cowo yang harus gue miliki.

©starsjuy

Melihat Kak Harshal keluar dari gate, gue langsung lari kemudian peluk dia sekenceng-kencengnya.

Gue kangen banget. Kangen Kak Harshal. Kangen kakak. Kakak beneran, bukan kembaran gue yang menjelma jadi kakak.

Kita ketemu cuma setahun sekali sejak Kak Harshal mulai kuliah di Aussie, lalu kemudian memutuskan buat lanjutin kerja disana.

“Kenda, udah, kenceng banget peluknya.” Ucap Kak Harshal yang masih memeluk gue sambil mengusap rambut gue.

“Aku kangennnnnnn bangetttttt,” jawab gue.

“Gantian, ini ada yang nungguin mau peluk juga.” Kata Kakak melirik ke Kala. Gue langsung melepas pelukannya, kemudian ikut melirik ke Kala.

Kala malah ngalihin pandangannya. Mulai deh, gengsi.

“Apa kabar, Kal? Gimana kuliah lo?” Tanya Kak Harshal sambil menepuk pundak Kala.

“Yaelah baru ketemu udah tanya kuliah. Aman, Bang, ipknya masih kaya biasa. Lo tenang aja.”

Salut gue sama Kala. Walaupun keliatannya kerjaan dia cuma nongkrong, main ps, sama futsalan, tapi ipk dia gede gede mulu dari semester 1. Tapi emang gue sering liat dia lembur ngerjain tugasnya sampe pagi.

Oh iya, kalo kalian bingung kenapa kok gue manggil Kak Harshal pake “Kakak”, sedangkan Kala manggilnya pake “Bang”. Dulu waktu kita SD, Kala pernah bilang,

“Temen-temen aku manggil kakaknya pake bang, masa aku pake kakak. Ngga keren.” Dan berakhir dia pake sampe sekarang.

Kala sering jailin gue, Kak Harshal lebih jail lagi. Sejail-jailnya Kala, dia jailnya cuma tiba-tiba random buka pintu kamar gue abis itu ngga ditutup lagi.

Kalo Kak Harshal, contohnya kaya kemarin, manggilin gue mulu padahal gue lagi ngejar deadline. Biasanya ngga cuma manggilin lewat chat, kadang sampe nelfon malah.

Pernah juga taun kemarin, dia bilang pulang minggu depan, paginya setelah dia bilang begitu tiba-tiba ketok pintu. Sampe dicubit waktu itu sama mamah karena ngagetin orang serumah, tapi Kak Harshal cuma cengengesan aja. Berpuluh-puluh kali juga gue sama Kala diprank sama dia.

“Bagus. PSnya udah gue pesen, palingan besok udah sampe.” Kak Harshal membalas Kala. Denger hal itu, Kala langsung sumringah.

Mungkin orang-orang liatnya Kak Harshal terlalu manjain gue sama Kala. Tapi emang begitu cara dia nunjukin rasa sayangnya ke kita. Dengan ngasih ngasih barang atau bahkan uang buat jajan.

“Gue dikacangin nih.” Ucap seseorang yang daritadi berdiri di samping Kak Harshal menyimak kita bertiga.

“Eh maaf, Kak, hahaha. Apa kabar, Kak Yudha?” Tanya gue ke dia diiringi dengan senyum.

“Baik, Kenda. Kamu apa kabar?” Balas dia sambil membalas senyum gue.

“Baik juga dong.”

Kalo Kala udah menyatu sama Eric, Kak Harshal sama Kak Yudha. Mereka berdua udah kaya anak kembar. Dari dulu, bener-bener dari dulu, dari bayi malah, bareng terus. Karena kita tetanggaan, dan rumah kita hadap hadapan.

TK bareng, SD bareng, SMP bareng, SMA bareng, bahkan kuliah sampe kerja pun masih bareng di satu negara yang sama. Sohib udah bener-bener sohib deh mereka berdua.

“Udah ayo balik ah, masa mau berdiri terus disini.” Ajak Kak Harshal sambil jalan dengan memeluk pinggang gue. Kemudian diikuti Kala sama Kak Yudha jalan di belakang kita.

“Matcha terus.” Ucap Kak Harshal melihat cup yang gue pegang.

“Hehehe tadi beli sama Kala.”

Gue suka matcha pun gara-gara Kak Harshal. Dia selalu bawain gue matcha tiap pulang basket dulu. Jadi deh sampe sekarang gue suka banget sama minuman yang satu ini. Salah satu kebiasaan Kak Harshal dari dulu, selalu bawain makanan atau minuman buat adek adeknya tiap habis dari luar.

Katanya love language dia act of service, tapi kalo kata gue sih semua love language dia punya. Tapi anehnya, sampe sekarang masih aja jomblo. Pengin gue aja yang pacarin daripada nganggur.

©starsjuy

Disini lah kita—gue, Kala, dan Eric—sekarang. Di mbloc, menuruti permintaan Eric. Masih menggunakan setelan formal yang tadi kita pake untuk menghadiri acara opening butik mamih Eric.

“Apaan banget anjir kesini pake baju formal gini.” Keluh Kala dengan memegangi jasnya.

“Harusnya pulang dulu kek, ganti baju.” Timpal gue. Lagian emang aneh banget, ke tempat nongkrong gini masa pake jas, pake dress selutut. Untung aja gue bawa jaket.

“Lah lo berdua nurut aja sama gue. Udah gapapa sih.” Jawab Eric sambil cekikikan.

“Anjing.” Balas Kala dengan umpatan.

Setelah perdebatan kecil, kita memutuskan buat beli gelato. Ribut-ribut begini emang sering terjadi. Setiap hari malah.

“Ngga ribut ngga asik.” Gitu kata Eric. Kayanya malah aneh kalo hari-hari kita adem ayem aja. Setiap hari selalu ada aja umpatan-umpatan yang keluar dari mulut.

“Lo makin deket sama Juan ya, Nda?” Tanya Eric tiba-tiba saat kita akhirnya memilih duduk di depan toko gelato setelah beli gelatonya.

“Tiba-tiba banget bahas ini?” Kata gue tanpa mengalihkan pandangan dari gelato yang lagi gue nikmati.

“Eric cuma nanya kali.” Balas Kala gamau kalah.

“Biasa aja.” Sebenernya gue sendiri juga bingung. Dibilang deket, biasa aja sih. Dibilang ngga deket, ya ngga juga. Soalnya gue sama Kak Juan emang lebih sering ngobrol sekarang.

“Tapi tiap malem chattan.” Balas Kala lagi, ngompor-ngomporin.

Tau-tauan aja Kala. Emang gue sebrisik itu apa kalo chattan sama Kak Juan sampe kedengeran ke kamar dia?

“Lo pasti udah baper sama Juan, kan?” Ujar Eric lagi yang sukses bikin gue keselek gelato.

Sumpah ini anak lagi kenapa, sih? Gue berasa lagi diinterogasi gini.

“Kenapa? Bener ya gue?” Tanyanya lagi sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Gapapa, daripada stuck sama yang itu.” Kata Kala.

Ck. Tau nih gue bakal bahas siapa.

“Jangan gitu lo, Kal, galau lagi ntar nih anak.” Ucap Eric ke Kala tapi matanya melirik ke gue.

“Apaan, sih, gue juga udah lupa sama dia kali.” Jawab gue dengan nada sinis.

“Iya lah harus! Orang ngga sampe pacaran masa gamonnya terus terusan.” Saut Kala ngga kalah ngegasnya.

“Beneran sosmednya ganti semua ya?” Tanya Eric lagi. Rese. Malah jadi meleber-meleber gini.

“Iya. Gatau dah gue, udah ah ngapain sih malah jadi bahas dia, ke photobox aja yuk.” Kata gue sambil beranjak dari bangku dan meninggalkan mereka. Lalu disusul mereka berdua yang kemudian mensejajarkan langkahnya dengan langkah gue.


“Ehh kurang Rara ini ya, pake foto dia dari hp gue aja deh.” Ucap gue baru sadar. Padahal kita udah melakukan 3 pose.

Selesai foto, Eric langsung ngambil hasilnya.

“Nda, anjir kok di HP lo malah foto Juan?” Kata Eric heboh waktu nyamperin gue sama Kala setelah ambil hasil fotonya.

“HAH MASA?” Tanya gue kaget.

“Gimana sih lo?” Omel Kala ke gue.

“Sumpah tadi gue buka foto Rara anjir. Ihh ulang dong ayo.” Gimana bisa anjir? Jelas-jelas tadi HP gue kebukanya foto Rara, kok bisa tiba-tiba malah jadi foto Kak Juan?

“Ngga ngga. Besok lagi aja dah sama Rara-nya langsung. Sekarang makan aja yok gultik, laper gue.” Ajak Eric. Bisa-bisanya dia malah kepikiran gultik???

“Lah kok gitu? Terus ini gimana masa ada Kak Juan-nya?” Tanya gue masih dengan wajah panik. Pasti ini foto bakal diapa-apain sama mereka berdua. Karena udah jelas, mereka orang rese.

“Yaudah mau gimana lagi? Lagian lo gimana sih? Kok bisa-bisanya ada foto Juan?” Tanya Kala beruntun.

“Itu dari highlight dia. Ihh ayo dong ulangin.” Masih dengan bujuk gue ke mereka.

Gue beneran ngga sadar foto Rara sama Kak Juan sebelahan di galeri gue. Kayanya waktu gue pegang HP malah kepencet habis itu kegeser fotonya. Dan jadilah gini.

“Ngga, udah buruan ayo ah, laper banget gue.” Tolak Eric masih dengan alibinya, laper, sambil menyeret gue sama Kala. Lagi-lagi kita harus menuruti permintaan Eric.

Bujukan gue ke mereka gagal. Gue memandangi foto itu sambil cemberut. Pikiran gue udah kemana-mana. Udah jelas dan udah pasti, mereka berdua bakalan ngusilin gue pake foto itu. Apalagi Eric.

©starsjuy

Ngga butuh waktu lama, akhirnya kita sampai. Tempatnya lumayan rame, mungkin karena ini jam makan siang. Kita berdua langsung pesan makanannya.

“2 ya, Mas, makan sini.” Ucap Kak Juan mendahului.

“Minumnya apa?”

“Es teh aja, lo juga, Nda?” Gue hanya mengangguk.

“Es teh 2, Mas.”

“Ohh iya, yang satu kolnya gausah digoreng ya, Mas, mentah aja.” Celetuk gue.

“Dua-duanya, Mas.” Tambah Kak Juan.

“Siap.” Jawab Masnya sambil mencatat pesanannya.

Setelah acara pesan memesan selesai, kita langsung mencari meja yang kosong.

“Lo ngga suka kol goreng, Nda?” Tanya Kak Juan setelah kita duduk.

“Ngga, Kak. Gue belum pernah makan sih. Tapi liatnya aja ngga bikin kepengin, keliatan terlalu berminyak gitu, enakan yang mentah aja. Lo juga ngga suka, Kak?”

“Sama, kata bunda juga ngga sehat.” Gue langsung senyum setelah Kak Juan ngomong gini.

“Kenapa senyam senyum?”

“Hah? Engga. Lucu aja denger cowo manggil bunda.” Jelas gue masih dengan senyum yang merekah di wajah gue.

“Emang jarang ya?”

“Gatau, gue aja yang mainnya kurang jauh kayanya, Kak. Jarang nemu di sekitar gue.”

“Ini kan udah nemu.” Ucap Kak Juan dengan senyum jahilnya.

Rese. Dia makannya apa ya? Kenapa bisa semanis ini senyumnya?

“Bunda lo di Bandung berarti ya, Kak?” Tanya gue mengalihkan topik.

“Iya, Nda.” Jawab dia singkat karena makanan kita udah dateng.

“Gue udah lama ngga ke Bandung deh.” Lumayan lama, kayanya terakhir gue ke Bandung waktu kelas 12.

“Ayo ke Bandung sama gue, nanti ketemu bunda.” Ajak Kak Juan sambil menyuapkan suapan pertamanya ke mulut.

Ngajak mah ngajak aja. Gausah pake embel-embel ketemu bunda. Gue hampir keselek.

“Lo ke bandung lagi kapan, Kak?”

“Besok pas liburan, mau ikut?”

“Yahh gue mau jemput kakak gue, dia mau pulang.” Alesan aja, padahal gue masih belum tau Kak Harshal pulang tepatnya tanggal berapa.

“Lo punya kakak? Gue kira berdua doang sama Kala.” Nah ini. Gatau karena saking nempelnya gue sama Kala atau emang saking jarangnya Kak Harshal dirumah, orang-orang selalu ngira begini.

“Punyaa, cowo juga. Yang tadi pagi ngetag lo di twitter, Kak.” Agak malu sih, tapi yaudah lah. Gue sambil makan jadi ngga malu malu amat.

“Oalah itu kakak lo? Gue gatau makanya ngga gue reply.”

“Biarin aja orang rese.”

“Lo cantik sendiri berarti dong ya.” Stop, Juan. Pengin gue jejelin sambel. Flirty abis lu.

“Dih apaan sih. Udah dimakan tuh.”

“Dih salting ya?” Ledek Kak Juan sambil ketawa.

Gue masih fokus sama makanan gue. Ngga menggubris Kak Juan. Sok tau. Siapa yang salting? Dasar rese.

©starsjuy

Tepat pukul 12.30 kelas gue selesai. Gue bersama “bestie” gue, yang tidak lain dan tidak bukan yaitu Eric, langsung buru-buru keluar kelas.

“Eh udah disini, gue baru mau chat lo, Kak.” Ucap gue saat mendapati Kak Juan yang lagi berdiri di lobby sambil main hp.

“Lo berdua mau kemana?” Tanya Eric kebingungan sambil liatin gue dan Kak Juan secara bergantian.

“Maksi.” Jawab Kak Juan singkat.

“Gue kaga diajak? Ikut dong.”

“Ngga. Lo rese ntar,” celetuk gue buru-buru menolak permintaan Eric.

“Yaelah santai kali, yaudah gih sono dah pacaran.” Balas Eric seolah-olah mengusir kita berdua.

Apa kata Eric tadi? Pacaran? Gada yang pacaran. Gue sama Kak Juan cuma makan siang bareng.

Kita berdua—gue sama Kak Juan tentunya—bergegas menuju ke parkiran.

“Lo bawa mobil kesini, Kak?” Tanya gue membuka obrolan.

“Yaiya, Nda. Lumayan kalo jalan dari FT ke FH”

“Iya juga ya haha, lo duluan aja, Kak. Gue ambil mobil dulu, mobil gue di sebelah sana,” sambil menunjuk mobil gue yang terparkir lumayan jauh dari mobil Kak Juan.

“Ngapain ambil mobil? Bareng sama gue, Nda.”

“Hah? Terus mobil gue ditinggal, Kak?”

“Iya, gapapa kan? Aman lah. Lo ada kelas lagi kan nanti?”

“Iya ada sih, yaudah deh, ayo, Kak.”

Kak Juan mempersilahkan gue masuk ke mobilnya. Masih sama persis kaya waktu pertama kali kita ketemu, dia bukain pintu mobilnya, kemudian tangannya berada di atas kepala gue, melindungi kepala gue biar ngga kejedot.

“Ini mau maksi dimana, Nda?” Tanya Kak Juan setelah mendudukkan badannya di kursi pengemudi.

“Dimana ya... Gue juga bingung, Kak.”

“Ohhh ini, ayam penyet depan kampus, Kak.”

“Ayam penyet depan kampus aja gimana?”

Ucap kita bersamaan.

“Lah? Hahahaha apaan sih, Kak.” Kita berdua ketawa.

“Lo yang ngikutin gue nih.” Kata Kak Juan ngeledek.

“Dih mana ada! Kan gue yang lagi ngomong duluan tadi.” Saut gue ngga terima.

Kak Juan cuma balas ketawa aja. Kemudian menjalankan mobilnya.

Gue sama temen-temen gue emang sering kesana, apalagi kalo lagi bosen sama makanan kantin. Mungkin Kak Juan juga?

©starsjuy